Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Februari, 2011


*Fenomena Anak sebagai Pelaku Kekerasan Seksual*

Memprihatinkan sekali kasus perkosaan yang dilakukan oleh 5 orang anak yang masih berusia 11 tahun pada anak yang baru berusia 5 dan 7 tahun di Purbalingga sebagaimana diberitakan oleh Radar Jogja (Rabu 2 Februari 2011).

Sesunggunya fenomena tersebut bukanlah yang pertamakali terjadi, sejak tahun 2002 Rifka Annisa telah mendampingi korban perkosaan dimana pelakunya masih berusia anak, yaitu dibawah 18 tahun. Sejak tahun 2000 hingga 2010 terdapat 204 kasus pelecehan seksual dengan 27 (13%) pelakunya berusia anak, kemudian kasus perkosaan berjumlah 370 kasus dengan 34 (9,1%) anak sebagai pelaku perkosan. Kategori usia anak paling banyak menjadi pelaku kekerasan seksual adalah anak usia 15 – 18 tahun kemudian usia 12-15 tahun dan 5-12 tahun, sebagaimana terlihat dalam table disamping. Kencenderungan munculnya anak sebagai pelaku kekerasan seksual baik perlecehan seksual maupun perkosaan, telah ada sejak tahun 2000 hingga 2010 dengan jumlah kemunculannya secara fluktuatif. Jumlah tertinggi terdapat pada tahun 2004 dengan jumlah 11 anak sebagai pelaku, kemudian tahun 2007 dan 2009 dengan jumlah masing-masing 10 dan 9 kasus anak sebagai pelaku.

Masih berdasarkan kasus di Rifka Annisa anak sebagai pelaku kekerasan seksual termuda berusia 5 tahun sebanyak 2 kasus, 6 tahun 2 kasus, 7 dan 8 tahun masing-masing 1 kasus, 9 tahun 2 kasus, 10 tahun 1 kasus dan 11 tahun berjumlah 2 kasus. Munculnya anak-anak yang masih belia sebagai pelaku kekerasan seksual ini biasanya karena adanya pelaku yang lebih dewasa. Anak-anak tersebut kebanyakan hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh anak-anak yang lebih tua darinya. Terdapat kecenderungan bahwa anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual, tidaklah sendirian dalam melakukan aksinya.

Demikianpula dengan korbannya, ada kalanya anak-anak pelaku kekerasan seksual tersebut melakukan tindakannya tidak hanya pada seorang anak saja. Kebanyak anak pelaku kekerasan seksual memiliki hubungan kedekatan dengan kroban, seperti teman, tetangga maupun saudara. *Tanggungjawab Orang Tua * Adanya kecenderungan anak sebagai pelaku kekerasan seksual sebagaimana diatas tentu sangat memprihatinkan, bahkan anak-anak dibawah usia 12 tahun dan ada yang masih berusia 5 tahun telah ikut-ikutan menjadi pelaku kekerasan seksual. Kondisi ini mengindikasikan kurangnya pendidikan seks bagi anak, sehingga mereka tidak bisa membedakan mana yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan terkait dengan organ reproduksi mereka.

Sebagai contoh adalah anak yang berusia 5 tahun hingga 11 tahun yang turut melakukan kekerasan seksual pada anak usia 4 tahun, tidak tahu bahwa tindakan yang dilakukannya tersebut adalah suatu hal yang dilarang.

Berdasarkan pengalaman kasus yang didampingi Rifka Annisa, munculnya anak-anak sebagai pelaku kekerasan seksual tersebut karena pengaruh media, misalnya karena pernah menonton VCD porno, pernah menyaksikan orang yang melakukan hubungan seksual, baik itu yang dilakukan oleh orang tuanya, atau temannya yang lebih dewasa, melakukannya karena ikut-ikutan atau dipaksa oleh anak yang lebih besar darinya, dll.

Kebanyakan anak yang menjadi pelaku maupun korban kekerasan seksual berasal dari keluarga yang abai terhadap pendidikan dan pengasuhan anak. Beberapa diantaranya berasal dari keluarga yang kurang harmonis, terjadi KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), anak yang kehilangan fungsi pengasuhan orang tua, sehingga anak tidak memiliki figure ayah maupun orang tua yang diidealkan. Dalam konteks hak anak sesungguhnya anak pelaku kekerasan seksual tersebut adalah juga korban. Orang tua bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi pada anak. Demikian pula dengan lingkungan dan orang yang lebih dewasa bertanggungjawab terhadap terciptanya situasi yang kondusif bagi tumbuh kembangnya anak. Namun lingkungan juga abai terdahap perkembangan anak, masyarakat cenderung permisif terhadap apa yang terjadi pada anak bahkan menyuguhkan anak game-game maupun tontotanan yang dapat merusak perkembangan anak dengan motiv keuntungan ekonomi. Orang dewasa tidak memberikan contoh perilaku yang baik pada anak, bahkan mereka tidak sadar kalau perilakunya diikuti oleh anak. Tanggungjawab pendidikan orang tua seolah-olah telah selesai dengan menyerahkan pendidikan anak pada sekolah. Demikian pula dengan ayah, seringkali tidak terlibat penuh dalam pendidikan anak, mencukupkannya sebagai tanggungjawab ibu, sehingga jika terjadi sesuatu pada anak, ibu yang seringkali disalahkan.

*Peran Orang Dewasa* Agar anak terhindar dari menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual, anak perlu mendapatkan pendidikan tentang seksualitas sejak dini. Anak perlu dikenalkan organ-organ seksualnya, bagaimana memerlakukannya, mengenali fungsinya, mengenali sentuhan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mengajarkan anak untuk teriak jika mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan, mengajarkan anak tentang tanggungjawab dan konsekuensi dari tindakannya dll.

Membiasakan anak untuk membicarakan pada orang tua tentang apa yang telah dilakukannya. Hindari untuk memarahi anak jika menceritakan hal-hal yang tidak baik, jangan sampai anak menjadi kapok dan takut menceritakan hal-hal buruk yang dialaminya, nasehati dan beri pengertian pada anak. Orang tua perlu memperhatikan siapa saja teman anak-anaknya, ajak anak untuk mengenalkan teman-temannya dan apa yang biasa dilakukan.

Perhatikan game yang sering dimainkan anak, karena saat ini banyak game yang secara gambling menampilkan adegan seksual. Perhatikan bacaan anak, baca dulu sebelum membeli. Perhatikan computer, internet maupun sms anak. Kecanggihan teknologi mempermudah anak-anak mengakses pornografi. Anak-anak sekarang memiliki banyak bahasa komunikasi yang tidak mudah dimengerti oleh orang dewasa, seperti sms terbalik, atau sms sandi yang ternyata berisi komunikasi tentang seksualitas. Buat kesepakatan dengan anak tentang jam belajar, tontonan atau acara TV apa saja yang boleh dilihat. Buat kesepakatan kapan waktu yang tepat untuk bermain game, menonton dan belajar, serta konsekuensinya bagi anak jika melanggar.

Sesekali damping anak ketika bermain game, menonton TV maupun belajar. Tanamkan kepribadian yang baik dan ke-imanan pada diri anak sejak dini. Biasakan anak untuk menghadirkan Tuhannya dalam setiap aktifitas yang dilakukan. Mengajarkan anak untuk menjaga nama baik sekolah atau keluarga seringkali tidaklah manjur. Buat anak mengerti bahwa konsekuensi tindakannya akan kembali pada diri anak itu sendiri, bukan pada keluarga atau sekolah. Karena control yang paling bagus bagi anak adalah dari dalam diri anak itu sendiri. Jagalah perilaku orang tua yang baik, karena perilaku orang tua akan ditiru oleh anak. Berikan contoh perilaku yang baik bagi anak dalam keluarga.

*Anak : Tanggungjawab Publik* Negara dan masyarakat bertanggungjawab terhadap terjadinya kekerasan seksual pada anak maupun oleh anak. – Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi perlu diberikan di sekolah-sekolah agar anak tidak terjerumus pada perlaku seksual beresiko. – Pemerintah perlu bekerja lebih keras untuk membatasi peredaran pornografi agar tidak dikonsumsi anak atau tidak menjadikan anak sebagai subyek pornografi. – Pembatasan tayangan-tayangan yang kurang mendidik bagi anak, memicu konsumerisme dan perilaku kekerasan maupun perilaku seksual yang beresiko pada anak. – Penyediaan dan Penyelenggaraan komunikasi informasi dan edukasi bagi anak tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi yang efektif dan aksesible bagi anak – Perlunya pendidikan parenting bagi orang tua agar anak terhindar dari menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual. – Perlunya negara untuk ambil bagian dalam pemenuhan hak pengasuhan anak bagi anak-anak yang kehilangan peran dan fungsi pengasuhan orang tua. – Penegakan dan perlindungan hukum bagi anak yang bermaslah dengan hukum, sehingga bisa menjadi pembelajaran bagi anak namun di sisi lain anak tidak kehilangan hak-haknya.

Yogyakarta, 3 Februari 2011 *Muhammad Saeroni, S.Ag* Manager Divisi Media dan Kehumasan Rifka Annisa Yogyakarta

Read Full Post »